I. Perekonomian Indonesia
di Zaman Kolonial
A. Kebangkitan Studi Sejarah perekonomian Indonesia
Berbeda dengan
sejarah politik dan sosial Indonesia,
maka sejarah perekonomian Indonesia
sampai beberapa waktu yang lalu belum banyak dipelajari oleh para sejarawan dan
ekonom Indonesia
ataupun asing. Keadaan ini berbeda sekali dengan keadaan di Asia Selatan dimana
banyak penelitian tentang dampak kekuasaan kolonial atas perekononmian.
Hasil-hasil
studi sejarah perekonomian India
selama zaman kolonial malahan telah banyak mempengaruhi pula kebijaksanaan
ekonomi India selama
tahun-tahun pertama sesudah kemerdekaan India tercapai. Meskipun studi
sejarah perekonomian perekonomian Indonesia
masih kurang berkembang dibanding dengan studi sejarah perekonomian India atau beberapa negara Asia
lainnya.
Berbagai kajian
mutakhir tentang sejarah perekonomian Indonesia
selama zaman kolonial disajikan dalam konperensi pertama yang secara khusus
membahas sejarah perekonomian Indonesia.
Kebangkitan studi sejarah Perekonomian Indonesia selama dasawarsa terakhir
ini dimungkinkan oleh beberapa perkembangan yang menguntungkan. Pertama sejak
pertengahan dasawarsa 1960-an banayk bahan arsip di negeri Belanda dan Indonesia
tentang administrasi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia selama abad ke-19
dan ke-20 telah dibuka untuk umum. Pengkajian yang lebih mendalam ini telah
menghasilkan temuan-temuan baru yang dapat menumbangkan berbagai pendangan
mapan tentang masa lampau, seperti misalnya kayakinan yang umumnya terdapat
pada para sejarawan bahwa akibat Sistem Tanam Paksa, para petani di Jawa telah
menjadi lebih miskin.
Perkembangan
kedua yang juga amat mendorong kebangkitan studi sejarah perekonomian Indonesia
adalah usaha kompilasi dan seleksi sejumlah data statistik yang amat besar tentang
sejarah perekonomian Indonesia selama kurun waktu 1816-1940 yang sejak awal
dasawarsa 1970-an dilakukan oleh sekelompok kecil ekonom Belanda dibawah
pimpinan almarhum P. Creutsberg, seorang pensiunan dari biro pusat Statistik, Jakarta. Maka beberapa
ekonom di Australia dan di negeri Belanda yang semula menaruh perhatian dan
perkembangan Indonesia masa kini, mulai mengalihkan perhatian mereka pada
sejarah ekonomi Indonesia selama abad ke-19 dan awal abad ke-20 dalam rangka
usaha mereka untuk mnemahami dengan lebih baik perkembangan ekonomi indonesia
masa kini.
Namun munculnya
ekonom sekelompok kecil ekonom-ekonom di Australia dan negeri Belanda yang
menaruh perhatian pada sejarah perekonomian Indonesia akan mendapat ”warna” dan
dimensi baru, oleh karena itu kajian historis oleh para ekonom ini akan lebih
banyak dilakukan menurut pola yang dirintis oleh para ”sejarawan ekonomi baru”
B. Sejara h perekonomian Baru
Kajian sejarah
oleh para ekonom menurut pola ”sejarah perekonomian baru” berarti bahwa teori
ekonomi, khususnya teori harga (teori ekonomi mikro), akan digunakan secara
lebih luas dan lebih sistematis dalam analisa sejarah. Meskipun masukan para
ekonom ke bidang studi sejarah perekonomian telah memberikan dorongan baru
kepada cabang ilmu ini, namun hal ini sama sekali tidak berarti berkurangnya
arti dan peranan para sejarawan dalam pengembangan studi sejarah perekonomian Indonesia.
Jika banyak
orang berpendapat Ekonomi Kerakyatan merupakan konsep baru yang mulai populer
bersama reformasi 1998-1999 sehingga masuk dalam “GBHN Reformasi”, hal itu bisa
dimengerti karena memang kata ekonomi kerakyatan ini sangat jarang dijadikan
wacana sebelumnya. Namun jika pendapat demikian diterima, bahwa ekonomi
kerakyatan merupakan konsep baru yang “mereaksi” konsep ekonomi kapitalis
liberal yang dijadikan pegangan era ekonomisme Orde Baru, yang kemudian terjadi
adalah “reaksi kembali” khususnya dari pakar-pakar ekonomi arus utama yang
menganggap “tak ada yang salah dengan sistem ekonomi Orde Baru”. Strategi dan kebijakan
ekonomi Orde Baru mampu mengangkat perekonomian Indonesia dari peringkat negara
miskin menjadi negara berpendapatan menengah melalui pertuumbuhan ekonomi
tinggi (7% pertahun) selama 3 dasawarsa. “Yang salah adalah praktek
pelaksanaannya bukan teorinya”.
II. Kehidupan Ekonomi Indonesia pada
masa Tanam Paksa.
Pada tahun 1830
pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa
terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat
(1821-1837), Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan
sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas
pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah
penjajahan yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam
dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara
yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual
komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus
menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada
perkembangan yang bebas dari sistem pasar.
A. Sis tem T anam Paksa d i J awa
Sistem tanam
paksa diterapkan oleh pemerintah jajahan Belanda merupakan contoh klasik
tentang penindasan kaum penjajah. Tujuan pokoknya ialah meningkatkan secara
pokok kapasitas produksi pertanian orang-orang Jawa demi keuntungan
perbendaharaan Kerajaan Belanda. Jika dipandang dari segi ini ,sistem tersebut
memang berhasil baik, dengan dihasilkannya sejumlah besar komoditi ekspor, yang
penjualannya di Eropa semakin banyak menghasilkan dana untuk menopang posisi
keuangan Belanda yang sedang sulit sekali. Melonjaknya produki dan laba ini
hampir seluruhnya bersumber pada kerja paksa kaum tani Jawa. Pengandalan dari
Tanam Paksa itu untuk memperoleh pendapatan lebih daripada hal lain
mengakibatkan reputasi sistem Tanam paksa sangat buruk.
Dalam sistem
Tanam Paksa ini kaum tani diwajibkan untuk menggarap sawahnya dan para petani
wajib menyerahkan hasil panen tersebut pada pemerintah Belanda. Sistem tanam
paksa menuntut agar kaum tani melakukan kerja rodi. Kaum tani diharuskan
bekerja 4 atau 5 kali lebih lama daripada jam kerja yang dituntut dalam masa
sebelum 1830. Pada umumnya, imbalan yang diterima oleh kaum tani itu dalam bentuk
hasil budidaya atau upah yang sama sekali tidak seimbang denga tambahan waktu
dan jerih payah yang dituntut dari mereka.
Pada pokoknya,
Sistem Tanam Paksa adalah penghisapan dan pemerasan secara brutal dan dikelola
oleh orang-orang yang tamak dan haus akan kekuasaan, yang nilai-nilanya
dibentuk oleh latar belakang kebudayaan masing-masing.
B. Sis tem T anam Paksa d i Suma tra Ba rat
Sitem tanam
paksa itu bukan merupakan satub suatu sistem yang tunggal, melainkan berupa
berbagai cara untuk mencari dana. Dan semua itu tergantung pada interverensi
politik, serta pengawasan terhadap sektor- sektor utama produksi pertanian.
Sistem tanam Paksa tidak hanya diterapkan dipulau Jawa saja melainkan juga
didaerah-daerah luar Jawa.
Di Pantai Barat
pulau Sumatra, tanah Minang, penanamandan penyerahan kopi secara paksa berhasil
dilembagakan pada tahun 1847, dan berlanjut pada sistem politik dan ekonomi
yang penting selama lebih dari enam dasawarsa. Selama 20 tahun pertama, sesudah
sistem tanam paksa mulai dijalankan di Sumatra Barat, ia mengalami sukses
yangcukup besar. Produksi kopi mencapai kopi mencapai tingkat yang cukup
tinggi, dan mempertahankannya selama beberapa lama. Kekerasan pernah dijalankan
untuk meningkatkan produksi kopi sebelumtahun 1949 oleh Belanda, tetapi
ternyata tidak efektif, karena kekerasan tidak dapat menahan turunnya produksi
kopisesudah tahun 1870. sebaliknya, sukses Tanam paksa pada dasawarsa-dasawarsa
awalnya disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu :
1. harga kopi yang ditetapkan.
Pemerintah memperkirakan bahwa pada waktu masih bebas menanam kopi, para
penanam kopi menerima sejumlah uang yang kecil dan tidak menentu.
2. suskses produksi kopi tanam
paksa di Sumatra Barat adalah karena
untuk seterusnyakebutuhan akan
pekerja sedikit
3. Alam dagang telah lama
mendarah daging dalam kehidupan Minangkabau, dimana jual beli barter barang
merupaka hal yang penting sekali, dan pendapan uang kontan petani dibawah
sistem tanam kopi bebas tentu telah merangsang selera mereka untuk memperoleh
barang dagangan.
III.
Evolusi
Kebijakan
Fiskal dan
Peranan Pemerintah dalam Perekonomian Kolonial menelurusuri evolusi peranan
pemerintah dalam perekonomian Indonesia
sejak berdirinya Sistem tanam paksa hingga tahun 1940, kita dapat mengenal lima masa yang berbeda.
Pertama dasawarsa 1830-an hingga pertengahan dasawarsa 1860-an merupakan masa
ketika pengeluaran dan penghasilan pmerintah yang nyata mantap sekali.
Masa kedua dari
akhir 1860 hingga pertengahan dasawarsa 1880-an ditandai oleh kenaikan
pengeluaran-pengeluaran nyata dan suatu perubahan yang menonjol dalam komposisi
pengeluaran-pengeluaran ini, menjauhi administrasi dan menuju ke sektor
pekerjaan umum.
Masaketiga mulai
dari pertengahan dasawarsa 1880-an hingga akhir abad ke-19, merupakan masa
resesi yang amat berat dalam perekonomian dunia dan perekonomian Indonesia.
Sesudah tahun
1921, pengeluaran-pengeluaran pemerintah menurun baik dalam bentuk uang maupun
menurut kenyataannya, naik lagi sesudah tahun 1925, hanya untuk turun lagi pada
permulaan tahun-tahun 1930-an. Penurunan sesudah tahun sesudah tahun 1930
relatif sedikit, mengingat parahnya resesi ekonomi ekonomi.
IV. Kolonialisme Belanda di
Indonesia
Pada tahun
1930-an, gaya
pemerintah Kolinialisme Belanda di Indonesia dapat dilukiskan sebagai
”imperialisme perdagangan bebas”, sedikit banyak model Inggris. Pada tahun 1870
bangsa belanda meninggalkan sistem tanam paksa yang sangat kejam. Kebijakan
baru itu lebih dapat diterima menurut pendapat umum negeri belanda, lebih
pantas untuk dihormati secara internasional, menyebabkan alokasi sumber yang
lebih efisien , dan juga lebih menguntungkan. Namun bagi rakyat Indonesia hal itu masih begitu terasa begitu
berat bagi bangsa Indonesia.
Suatu hal yang
menarik perhatian dari kolonialisme di indonesia adalah bahwa kehadiran belanda
mengundang serta mendorong pertumbuhan masyarakat Cina dan bangsa Asia lainnya
(orang-orang Indi dan Arab), walaupun kelompok–kelompok Asia asing ini hadir
dalam proporsi yang agak kecil sebelum datangnya orang-orang belanda, dan
sampai sekarang masih tetap tinggal di Indonesia. Di India kedatangan
orang-orang Inggris secara relatif lebih kecil. Mereka banyak memusatkan
perhatian kepada tugas-tugas pemerintahan , dengan suatu tingkat jumlah anggota
keluarga yang menetap di negeri jajahan yang lebih kecil. Sedangkan orang-orang
Belanda menunjukkan proporsi lebih rendah dari penduduk tetap berkebangsaan
Belanda di Indonesia.
Perkembangan
sistem pasar di Indonesia tidak pernah mulus karena selalu tertekan oleh
“sistem ekonomi” yang diterapkan di Indonesia sebagai “negara jajahan”. Pada
200 tahun pertama masa kolonialisme (1600 – 1800), persatuan Pedagang Belanda
(VOC) menerapkan sistem monopoli (monopsoni) dalam membeli komoditi-komoditi
perdagangan seperti rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh, kopi dan gula),
sehingga harganya tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC. Meskipun VOC
tidak sama dengan pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia merasa
VOC mempunyai kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah juga karena VOC
mempunyai aparat “pemerintahan”, bahkan memiliki tentara. Itulah sebabnya
Companie diucapkan orang Indonesia sebagai kum peni yang tidak lain berarti
“tentara” yang dapat memaksa-maksa petani menyerahkan komoditi perdagangannya
yang “dipaksa beli” oleh VOC. Selanjutnya setelah VOC bubar (bangkrut tahun
1799), pemerintah penjajah Belanda tidak segera menemukan cara-cara tepat untuk
mengekploitasi Indonesia, bahkan pemerintah ini terhenti sementara (1811-1816)
karena penguasaan atas Indonesia diambil alih oleh Inggris pada saat Belanda di
duduki Jerman, dan pemerintah Belanda mengungsi ke Inggris. Letnan Gubernur
Thomas Robert Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah untuk mengefisienkan
tanah jajahan. Sistem sewa tanah ini tidak segera diambil alih pemerintah
penjajah Belanda setelah Indonesia
(Hindia Belanda ) diserahkan kembali kepada Belanda.
V. Keadaan perekonomian pada masa pend udukan Jepang
Pada zaman
pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang dengan
pemasaran dalam negeri yang makin luas ditambah pasar luar negeri yang
ditinggalkan perkebunan-perkebunan besar yang mulai mundur. Dan dalam hal
komoditi tebu di Jawa tanaman tebu rakyat mulai berperanan besar menyumbang
pada produksi gula merah (gula mangkok) baik untuk kebutuhan dalam negeri
maupun ekspor. Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing mengelola industri
gula di Jawa membuat putusan mengagetkan dengan Inpres No. 9/1975 tentangTebu Rakyat
Intensifikasi (TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta
) menyewa lahan milik petani. Semua tanah sawah dan tanah kering harus ditanami
tebu rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul khususnya secara
ekonomis dibanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang paling penting
pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi antara
pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah. Kebijaksanaan TRI ini gagal total
karena mengabaikan kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah sangat sempit,
yang mempunyai pilihan (alternatif) untuk ditanami padi. Karena tebu sebagai
bahan baku
untuk gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak, maka di
mana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan produksi
dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan Inpres TRI
ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat kerusakan
besar pada industri gula di Jawa. Dewasa ini industri gula di Jawa termasuk
salah satu industri yang paling sakit di Indonesia.
VI. KOPERASI WADAH EKONOMI
RAKYAT
Ekonomi rakyat
yang dapat diperkuat dalam wadah koperasi adalah kegiatan produksi dan konsumsi
yang apabila dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, tetapi melalui
organisasi koperasi yang menerima tugas dari anggota untuk memperjuangkannya
ternyata dapat berhasil. Ekonomi Rakyat adalah usaha ekonomi yang tegas-tegas
tidak mengejar keuntungan tunai, tetapi dilaksanakan untuk (sekedar) memperoleh
pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan keluarga secara langsung untuk memenuhi
kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kebutuhan-kebutuhan keluarga lain dalam
arti luas, yang semuanya mendesak dipenuhi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan
pokok anggota.
Ekonomi Rakyat
dalam arti yang lebih luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang becak dan
pedagang kaki lima,
yang kepentingan- kepentingan ekonominya selalu dapat lebih mudah
dibantu/diperjuangkan melalui koperasi. Kepentingan-kepentingan ekonomi rakyat
seperti inilah yang tidak dilihat oleh pakar-pakar ekonomi yang memperoleh
pendidikan ekonomi melalui buku-buku teks dari Amerika dan yang tidak berusaha
menerapkan ilmunya pada kondisi nyata di Indonesia. Teori-teori ekonomi mikro
maupun makro dipelajari secara dedukti f tanpa upaya menggali data-data empirik
untuk mencocokkannya. Karena contoh-contoh hampir semuanya berasal dari Amerika
dengan ukuran-ukuran relatif besar, maka mereka dengan mudah menyatakan ekonomi
rakyat tidak ada dan tidak ditemukan di buku-buku teks Amerika. Misalnya
Menteri Pertanian yang memperoleh gelar Doktor Ekonomi Pertanian dari Amerika
Serikat dengan yakin menyatakan bahwa “Farming is business”, meskipun tanpa
disadari yang dimaksud adalah”Farming (in America) is business”, sedangkan di
Indonesia harus dicatat tidak semuaya dapat dikategorikan sebagai bisnis tetapi
“way of life”, kegiatan hidup sehari-hari yang sama sekali bukan kegiatan
bisnis yang mengejar untung.
Sejarah
perekonomian Indonesia
(sejak masa penjajahan) dan sejarah pemikiran ekonomi Indonesia. Disamping itu dibahas
pula sistem ekonomi Indonesia dengan memberikan perhatian dan penelusuran
deskriptif dan analitis pada sejarah sistem ekonomi sejak sistem ekonomi
monopolistikala VOC (1600 – 1800), sistem ekonomi komandoala Tanam Paksa (1830
– 1870), dan sistem ekonomi kapitalis liberal sejak 1870.
Selain itu
kehidupan rakyat kecil (ekonomi rakyat) makin berat karena penduduk desa yang
tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun
milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Produksi pangan rakyat merosot dan
timbul kelaparan di berbagai tempat di Jawa. Tanam Paksa adalah sistem ekonomi
yang merupakan noda hitam bagi sejarah penjajahan Belanda di Indonesia,
meskipun bagi pemerintah Belanda dianggap berhasil karena memberikan sumbangan
besar bagi kas pemerintah. Selama sistem tanam paksa kas pemerintah jajahan
Belanda mengalami surplus (batig slot). Sistem tanam paksa yang kejam ini
setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda dihapus pada
tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung
sampai 1915. Akhirnya sistem ekonomi ke-3 dan terakhir pada jaman penjajahan
yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah sistem ekonomi kapitalis
liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi pemerintah tetapi pengusaha
swasta, sedangkan pemerintah sekedar sebagai penjaga dan pengawas melalui
peraturan-peraturan per-undang- undangan. Undang-undang pertama yang menandai
sistem baru ini adalah UU Agraria tahun 1870, yang memperbolehkan
perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas untuk
jangka waktu sampai 75-99 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet,
teh, kopi, kelapa sawit, atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau
dalam bentuk sewa jangka pendek. Pada saat tanaman-tanaman perdagangan ini
mulai dikembangkan, di beberapa daerah rakyat sudah lebih dulu menanaminya,
sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar dengan
perkebunan-perkebunan rakyat. Dalam persaingan antara dua sub-sistem perkebunan
inilah mulai muncul masalah peranan yang tepat dan adil dari pemerintah. Di
satu pihak pemerintah ingin agar perusahaan- perusahaan swasta memperoleh
untung besar sehingga pemerintah mendapat bagian keuntungan berupa pajak-pajak
perseroan atau pajak pendapatan dari staf dan karyawan. Tetapi di pihak lain
penduduk pribumi yaitu pekebun-pekebun kecil (perkebunan rakyat) yang
sebelumnya sudah mengembangkan tanaman-tanaman ini “tidak boleh dirugikan”
terutama dalam pemasaran hasilnya. Terutama dalam produksi dan pemasaran karet
persaingan segera timbul, dan pemerintah yang tentunya berkepentingan
meningkatkan kemakmuran rakyat tidak boleh membiarkan merosotnya kemakmuran
rakyat ini, sehingga harus terus menerus mengawasi hubungan antara keduanya.
Misalnya pada saat harga karet jatuh pada awal tahun 1920-an ada usulan
pembatasan produksi karet (Stevensen Restriction
Scheme) dari pemerintah
penjajahan Inggris di Malaya yang tidak
disambut baik oleh pemerintah Hindia Belanda. Perkebunan karet rakyat memiliki
daya tahan jauh lebih kuat menghadapi krisis ketimbang perusahaan- perusahaan perkebunan
swasta besar.
Tokoh-tokoh
pergerakan kemerdekaan terutama Mohammad Hatta, yang belajar ilmu Ekonomi di
Rotterdam, banyak menyoroti nasib buruk ekonomi rakyat yang selalu tertekan
oleh pelaku sektor ekonomi modern yang dikuasai investor-investor Belanda,
terutama dalam pertanian dan perkebunan, dan dikenal sebagai pertanian rakyat
dan perkebunan rakyat (smallholder). Pertanian dan perkebunan rakyat dengan
pemilikan lahan yang sempit, dengan teknologi sederhana dan modal seadanya,
sulit berkembang karena merupakan usaha-usaha subsisten. Sebaliknya pertanian
dan terutama perkebunan besar yang luasnya puluhan atau ratusan ribu hektar
yang menggunakan teknologi unggul dan modal besar dalam memproduksi komoditi
ekspor (karet, teh, kelapa sawit, tebu dan tembakau), tidak tertarik
bekerjasama dengan usaha-usaha ekonomi rakyat. Mereka, perkebunan besar, bahkan
khawatir rakyat “menyaingi” hasil-hasil perkebuan besar karena hasil-hasil
perkebunan rakyat dapat jauh lebih murah meskipun mungkin mutunya tidak tinggi.
Demikian karena
ekonomi rakyat merupakan kegiatan penduduk pribumi dan usaha-usaha besar
merupakan milik pengusaha-pengusaha Belanda atau pengusaha asing lain dari
Eropa, maka para pemimpin pergerakan seperti Hatta, Syahrir, dan Soekarno,
selalu memihak pada ekonomi rakyat dan berusaha membantu dan memikirkan
upaya-upaya untuk memajukannya. Maka Hatta berkali-kali menulis di Daulat
Rakyat tentang bahaya-bahaya yang mengancam ekonomi rakyat dan bagaimana
ekonomi rakyat harus bersatu atau mempersatukan diri dalam organisasi koperasi
sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaaan. Hanya dalam asas
kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi yaitu produksi
dikerjakan oleh semua, dan untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan
diawasi anggota-anggota masyarakat sendiri. Inilah yang kemudian dijadikan
pedoman umum penyusunan sistem ekonomi Indonesia sebagai usaha bersama
yang berasaskan kekeluargan sebagaimana tercantum sebagai pasal 33 UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar